24 Mei 2022 | Dilihat: 257 Kali
FPKS: Pemerintah Gagal Jelaskan Persoalan Fiskal
noeh21
Ecky Awal Mucharam
    

SKOR News, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Ecky Awal Mucharam menyoroti bagaimana pemerintah tidak mampu melihat akar permasalahan yang mendasar terkait fiskal.

Ecky mengatakan, Dua poin penting yang tidak mampu dijelaskan oleh Pemerintah yakni terkait bagaimana mengupayakan peningkatan pendapatan dan tentang persoalan belanja yang paling fundamental.

“Pertama adalah terkait dengan konteks budgeting. Hal yang paling krusial dan paling mendasar adalah bagaimana pendapatan menjadi konsideran paling penting dalam merumuskan prioritas fiskal. Pemerintah harus mampu menjelaskan faktor apa saja yang dapat mendongkrak penerimaan negara ke depan. Apakah motor penggeraknya dari harga komoditas melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak? Atau apa kenaikan pajak seperti PPN? Ataukah ada faktor-faktor lainnya?” jelasnya.

Berdasarkan konteks ini, Ecky menyoroti proyeksi penerimaan pajak yang naik 15 persen dan PNBP yang naik 5 persen, namun tidak dijelaskan secara rinci langkah apa saja yang mendorong realisasi tersebut. Hal ini menjadi krusial agar tidak terjadi shortfall penerimaan nantinya.

“Setelah upaya-upaya penerimaan tergambar dengan jelas, baru kemudian bagaimana rencana prioritas belanjanya,” tambahnya.

Secara prinsip, Ecky setuju dengan bagaimana fiskal mesti diarahkan agar dapat menjadi bantalan sosial. Misalnya bagaimana fiskal digunakan untuk menyelematkan PLN dan Pertamina agar harga-harga yang diatur (administered price) seperti harga listrik, dan minyak dapat dikendalikan. Namun demikian, dibalik itu, pemerintah juga perlu melihat persoalan belanja hingga ke faktor fundamentalnya.

“Nah, persoalannya penjelasan tentang justifikasi kebutuhan-kebutuhan belanja tidak mampu menjawab persoalan fundamental yang ada. Misalnya terkait upaya menyelamatkan PLN agar tidak rugi karena menanggung beban pengendalian harga listrik. Padahal, persoalan fundamentalnya ada pada setting kebijakan yang menjadikan PLN harus menanggung itu semua,” tutur Ecky.

“Salah satunya adalah ambisi proyek 35.000 MW. Dengan ambisinya, pemerintah membuka investasi besar-besaran agar memenuhi target tersebut. Semua regulasi dan kebijakan dilonggarkan termasuk klausul-klausul kontrak yang sebenarnya merugikan PLN dan negara. Seperti skema take or pay. Di tengah kenaikan harga bahan baku dan kondisi kelebihan pasokan listrik, PLN mau tidak mau harus membeli listrik dari pembangkit swasta dengan harga yang tinggi. Dampaknya apa? PLN rugi, fiskal harus nombokin, kalau anggaran terbatas masyarakat harus menanggung beban” jelasnya lebih detail.

“Nah, persoalan ini yang tidak mampu dibedah, dijelaskan, dan diatasi!. Fiskal dan rakyat dikorbankan akibat kebijakan yang ugal-ugalan dari pemerintah, dan governance yang buruk,” tegasnya.

“Kalau semua urutan itu mau dilakukan, mulai dari rasionalisasi pendapatan hingga membedah persoalan belanja, baru kemudian berbicara terkait rencana pembiayaannya. Sebab, apabila itu tidak dilakukan, saya khawatir upaya-upaya untuk mengembalikan defisit di bawah 3 persen sesuai dengan kesepakatan tidak dapat terealisasi” pungkas Ecky mengakhiri. *Marman (s:fpks)