30 April 2022 | Dilihat: 291 Kali
Kritik Larangan Ekspor CPO, FPKS: Langkah Sembrono Pemerintah
noeh21
    
SKOR News, Jakarta - Fraksi PKS DPR RI menyesalkan ketidak konsistenan Pemerintah dalam menetapkan kebijakan terkait upaya menjamin ketersediaan minyak goreng dan menstabilkan harga minyak goreng curah sebesar Rp 14.000/liter.
 
“Yang pertama dari segi konten yaitu berbagai ralat tentang isi kebijakan, terutama apa saja yang dilarang ekspor. Yang awalnya CPO (minyak sawit mentah) dilarang ekspor, ternyata hanya bahan baku minyak goreng (RBD Palm Olein) saja yang dilarang lalu kemudian ada ralat berikutnya bahwa memang CPO yang dilarang ekspor,” kata Anggota DPR RI FPKS Rofik Hananto.

Dalam konferensi pers pertama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) tidak termasuk dalam komoditas yang masuk dalam larangan ekspor.

Airlangga pada awalnya mengungkapkan, larangan ekspor hanya berlaku untuk bahan baku minyak goreng atau Refined, Bleached, Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein). Sementara CPO dan produk turunannya seperti Red Palm Oil (RPO) masih diperbolehkan ekspor.

Belakangan, pemerintah meralat aturannya, di mana dalam konferensi pers terbaru esok harinya, Airlangga menegaskan bahwa CPO juga termasuk ikut dilarang.

Seluruhnya sudah tercakup dalam Peraturan Menteri Perdagangan dan akan dilakukan malam hari ini pukul 00.00 WIB tanggal 28 April karena ini sesuai dengan apa yang sudah disampaikan oleh Bapak Presiden,” kata Airlangga, Kamis (28/4).

Hal ini, menurut Rofik, mengakibatkan pemangku kepentingan di industri minyak goreng gagal memahami keinginan pemerintah. Salah satu yang kena getahnya adalah adanya laporan pabrik kelapa sawit (PKS) mulai menolak hasil buah sawit petani.

Kemudian dari segi pembawa berita dari Pemerintah, mulai dari Presiden dan Menko Perekonomian yang isi pesannya berbeda. Hal ini menunjukkan adanya tidak adanya kerjasama dan komunikasi yang tuntas di antara penyelenggara negara.

“Ada baiknya ketika Presiden dan Menteri terkait seperti Menko Perekonomian, Menperin, dan Mendag berada dalam satu forum ketika menyampaikan kebijakannya, sehingga langsung bisa dikomunikasikan detail pelaksanaan kebijakannya,” ujar anggota Komisi VII DPR RI itu.

Yang lebih parah lagi adalah Pemerintah terkesan sembrono dalam menetapkan kebijakan publik. Pelarangan ekspor ini apapun bentuknya adalah bertolak belakang dengan kebijakan ekonomi di dunia yang sudah meng-global saat ini. Tidak ada satu negara pun yang tidak membutuhkan negara lain dalam memenuhi kebutuhannya. Apalagi produk CPO ini adalah komoditas yang sudah diperdagangkan secara internasional selama ini. Rofik menilai kebijakan ini tidak solutif.

“Apa kata dunia kalau CPO ini dilarang diekspor. Karenanya pelarangan ekspor ini dapat dipandang cuma sekadar gimmick untuk meraih simpati publik dan upaya menutupi kekurangan pemerintah dalam kemampuannya mengeksekusi kebijakan. Oleh karena itu stop mempermainkan rakyat dan mulai membuat kebijakan yang realistis dan solutif,” kata legislator asal Dapil Jawa Tengah VII itu.

Menurut dia, kebijakan DMO untuk CPO ini sudah tepat karena toh kebutuhan minyak goreng untuk dalam negeri cukup dipenuhi 20% saja dari total produksi CPO. Tinggal kebijakan harganya disesuaikan untuk mengurangi kebocoran ekspor yaitu pemerintah membeli dengan harga yang bagus sehingga pengusaha dan petani dapat menikmati harga kenaikan komoditasnya di pasar internasional.

Terus uangnya dari mana? Bisa dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang jumlah dananya meningkat seiring dengan harga komoditas CPO.

“Apa salahnya sebagian dana tersebut dinikmati juga oleh rakyat dalam bentuk minyak goreng dengan harga yang terjangkau,” kata Rofik Hananto. *Marman (s:fpks)