SKOR News, Jakarta - Menteri PUPR berencana melakukan penyesuaian tarif tol akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Namun, akan mempertimbangkan kemauan bayar pengguna atau willingness to pay (WTP) dari hasil survei.
Anggota DPR RI Fraksi PKS, Suryadi Jaya Purnama mengingatkan, berdasarkan UU No. 2 Tahun 2022 Tentang Jalan disebutkan bahwa Tarif Tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan atau ability to pay (ATP) dan bukan berdasarkan kemauan bayar pengguna atau willingness to pay.
“Hal ini bisa dilihat pada Pasal 48 ayat (1) yang menyatakan bahwa Tarif Tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna Jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi.
​​​​​​
Kemudian, pada ayat (3) disebutkan bahwa Evaluasi dan penyesuaian tarif Tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan a. pengaruh laju inflasi; dan b. evaluasi terhadap pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol,” sebut Anggota Komisi V ini.
Perbedaan kedua terminologi tersebut, lanjutnya, adalah Kemampuan membayar atau ability to pay (ATP) ditentukan melalui kajian atas pola pengeluaran individu, khususnya pengguna dalam mengkonsumsi pelayanan jalan tol.
“ATP akan dipengaruhi besarnya pendapatan, kebutuhan dan biaya transportasi. Sedangkan kemauan membayar atau willingness to pay (WTP) ditentukan melalui kajian atas kesediaan individu, khususnya pengguna dalam membayar jasa pelayanan jalan tol,” jelasnya.
Suryadi menambahkan, ATP dan WTP biasanya ditentukan melalui survei sebelum suatu jalan tol dibangun atau diresmikan. Seharusnya, penelitian terhadap ATP sesuai UU No. 2 Tahun 2022 Tentang Jalan di atas dilakukan secara transparan dan partisipatif mengingat kenaikan harga BBM yang terjadi saat ini sudah sangat mempengaruhi pola pengeluaran masyarakat luas pengguna jalan tol.
“Oleh karena itu, kami meminta Pemerintah membatalkan rencana kenaikan tarif tol, sebab kenaikan inflasi saat ini terjadi karena adanya kejadian luar biasa dampak dari kenaikan harga BBM. Kami juga berpandangan jika tarif tol dinaikkan dengan alasan penyesuaian terhadap pengaruh laju inflasi, maka kenaikan tarif tol ini justru berpotensi semakin menaikkan laju inflasi akibat naiknya biaya logistik,” ujarnya.
Selain itu, tambah SJP, Indonesia masih dalam pemulihan dari krisis pandemi Covid-19, di mana sektor transportasi merupakan sektor yang paling terpukul.
“Dengan kondisi saat ini saja biaya logistik di Indonesia masih sangat tinggi, dimana menurut penelitian Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia tahun 2017 ongkos logistik Indonesia mencapai 23,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan sejumlah negara ASEAN lainnya seperti Thailand (13,2 persen), Malaysia (13 persen), dan Singapura (8,1 persen),” papar SJP.
Kenaikan biaya logistik, sebut Suryadi, nantinya akan berdampak pada kenaikan harga barang-barang sehingga semakin memukul tingkat konsumsi masyarakat dan membebani dunia usaha terutama UMKM terhadap rantai pasok yang cepat dan murah. Kita juga mengingatkan bahwa kenaikan tarif tol berpotensi menyebabkan beralihnya jalur logistik.
“Banyak truk yang akan kembali melewati jalur kota yang lebih terjangkau biayanya sehingga menjadi tidak sesuai dengan tujuan dibangunnya jalan tol menurut Pemerintah, yaitu sebagai ‘backbone’ dalam konektivitas antarwilayah dan efisiensi biaya logistik di Indonesia,” tutup SJP. *Ratis (
s:fpks)