SKOR News,
Jakarta - Menko Polhukam Mahfud MD dan Wamenkumham Eddy OS Hiariej kompak satu suara soal perumusan pasal penghinaan presiden dan/atau wakil presiden ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dalam Siaran Persnya (17/6) mengatakan bahwa dimasukkannya pasal penghinaan presiden dengan ancaman penjara maksimal 3 tahun 6 bulan, yang sebelumnya tercantum dalam KUHP versi kolonial menjadi bukti capaian RKUHP yang digembar-gemborkan sebagai produk reformasi hukum pidana tidak sesuai dengan kenyataan.
Menyikapi hal itu, PSHK mencatat ada 5 alasan untuk menolak rumusan tersebut. Pertama, alasan bahwa “presiden sebagai simbol negara” dan “personifikasi masyarakat” yang dipakai pemerintah untuk menjustifikasi pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP adalah keliru.
Perihal simbol negara sudah jelas diatur dalam Pasal 35 dan 36B UUD 1945 tentang lambang-lambang negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yaitu Garuda Pancasila, bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan bahwa Pasal 134, 136, dan 137 KUHP terkait delik penghinaan presiden bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan. Perubahan delik penghinaan presiden menjadi delik aduan pada RKUHP tidak menghilangkan problem utama pada pasal anti-demokrasi itu. Justru sebaliknya, hal itu menimbulkan kesan bahwa pemerintah mencari celah untuk mengingkari putusan MK.
Kedua, memasukkan pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP tidak tepat karena presiden adalah jabatan dan harus dibedakan dengan individu yang mengisi jabatan tersebut. Sebagai suatu jabatan, presiden tidak memiliki fitur moralitas untuk bisa merasa dihina.
Ketiga, alasan pemerintah bahwa penghapusan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden akan menciptakan budaya masyarakat yang terlalu liberal, adalah argumentasi berdasarkan hipotesis yang prematur. Faktanya, MK telah menyatakan pasal tersebut inkonstitusional dan sejak ketentuan itu tidak berlaku hingga sekarang, sulit untuk membuktikan bahwa kearifan
Keempat, perubahan pasal penghinaan presiden menjadi delik aduan tidak menghilangkan risiko kriminalisasi. Faktanya, kepolisian kerap melakukan tebang pilih dan sulit bersikap proporsional manakala pelaporan datang dari pihak yang memiliki relasi kuasa sekelas pejabat negara. Akibat faktor relasi kuasa itu, polisi sering kali bias
Kelima, kebijakan perumusan pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP juga tidak didampingi dengan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) yang memadai. Padahal, setiap penambahan satu butir pasal akan punya dampak signifikan terhadap porsi anggaran kebijakan nantinya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, PSHK mendesak Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dari substansi muatan RKUHP. Tidak adanya logika hukum yang berbasis bukti sebagai dasar keberadaan pasal tersebut akan menjadi preseden buruk yang menandai kemunduran nilai demokrasi dan prinsip negara hukum di Indonesia. *
Awi (s:sp.pshk)
Siaran Pers PSHK selengkapnya silahkan Klik Disini