Oleh: Ridwan Demmatadju
Apa kabar pelaku di dunia pendidikan hari ini?
GURU semoga tetap semangat menjadi
motivator dan
inisiator di tengah pandemi, sejak setahun ini sekolah diliburkan, tidak ada lagi tatap muka antara murid dengan guru di ruang kelas.
Proses belajar mengajar
klasik dan tradisional itu tak bisa terjalin lagi sejak
virus corona tersebar di seluruh belahan dunia.
Proses belajar beralih daring yang mengandalkan jaringan internet untuk, tentu ini jadi masalah yang berat bagi pemangku kepentingan di sektor pendidikan kita.
Berbagai masalahpun muncul seiring dengan ketidakmampuan sebagian guru untuk beradaptasi dengan keadaan ini yang berujung pada merosotnya nilai kualitas dan kuantitas capaian di semua jenjang pendidikan sekolah.
Ridwan Demmatadju
Sejauh yang saya amati sebagai orang yang pernah menjadi guru di sekolah lanjutan tingkat atas, tentunya menyisakan rasa prihatin dengan situasi sulit yang dihadapi semua warga sekolah termasuk guru yang berperan penting menciptakan orang-orang cerdas di masa depan
Saya tergerak untuk menulis ini karena ada hal yang tak pernah dipikirkan pihak sekolah dan guru sebagai sosok yang ditiru oleh murid bahwa situasi pandemi sejatinya bukan masalah jika sejak awal terjadi proses adaptasi teknologi informasi dan komunikasi di kalangan pelaku di dunia pendidikan kita.
Sebagai fakta yang saya dapatkan, banyak guru yang kehilangan akal untuk melakukan proses pembelajaran tanpa tatap muka lantaran ketidakmampuan memakai media berbasis
digital untuk mengajar.
Tidak sedikit guru yang tak berdaya menyampaikan rencana sekaligus tujuan pembelajaran secara utuh berdasarkan target kurikulum, inilah masalah yang tak terpecahkan sehingga kita tidak perlu heran jika peserta didik banyak yang tak mampu belajar dan memahami materi pembelajaran yang disajikan.
Jelas ini pekerjaan berat bagi guru yang tak jelas kapan akan berakhir, tidak banyak pilihan selain melakukan perubahan paradigma mengajar yang selama ini
konvensional, harus berubah dan menyesuaikan dengan kondisi.
Dengan situasi ini, penyebaran
virus dengan
varian baru mau tak mau suka tidak suka kita dipaksa untuk menerima semua aturan protokol kesehatan yang diterapkan pemerintah melalui menteri pendidikan.
Kita dipaksa untuk melakukan perubahan pola mengajar yang sesungguhnya ruang kelas tak lagi penting sebagai ruang belajar, semua bergeser ke digitalisasi sekolah dan turunannya.
Sayangnya, kesiapan negara untuk memfasilitasi itu terbilang sangat terlambat dan tertinggal jika dibandingkan dengan negara tetangga. Lalu apa dampaknya, sekolah konvensional tak lagi jadi rujukan untuk menciptakan manusia-manusia yang cerdas menjawab perubahan zaman ini.
Hari gini, belajar di sekolah konvensional dengan model tatap muka tak lagi penting maka tak sedikit orang tua yang memilih model pembelajaran di sekolah alternatif yang dapat menggali potensi dari anaknya, sekaligus dapat membentuk karakter dan kemandirian.
Sekolah tak lagi penting jika hanya untuk mendapatkan selembar kertas bernama ijasah dan SKHUN yang berisi angka-angka kemampuan
kognitif belaka.
Selama ini, sistem pendidikan nasional kita secara esensi sangatlah sempurna sebagai sebuah konsep namun faktanya sekian puluh tahun tak banyak membawa peserta didik di sekolah bisa memahami apa tujuan penting dari mereka bersekolah dengan masa belajar yang panjang dari level dasar sampai perguruan tinggi.
Salah satu sebabnya karena sekolah hanya berorientasi pada pencapaian tingginya angka kelulusan, sekolah dianggap berhasil jika bisa meluluskan semua peserta ujian akhir di sekolah.
Padahal, ditelisik ke dalam proses kelulusannya ada praktik tidak terpuji yang seharusnya tidak terjadi di tempat pembentukan karakter manusia jujur pada diri sendiri, sebagai mana banyak slogan yang dipakai jujur itu baik.
Lagi-lagi hanya slogan, itu jadi potret buram sekaligus membuktikan bahwa sekolah tak lagi penting jadi rujukan di bursa kerja untuk melihat seberapa tinggi nilai intelegensi seorang pelamar kerja karena dibanyak perusahaan mengesampingkan semua itu.
Padahal konsep
link and macth (berhubungan, sesuai) itu yang tak lagi ada dalam proses belajar dari guru ke murid sehingga banyak guru yang hanya asyik berceloteh, berteori usang di depan kelas tanpa menyadari bahwa seharusnya guru bisa membangun relasi pemikiran peserta didiknya terhadap fakta-fakta sosial yang ada di luar kelas.
Tidak banyak guru di sekolah yang sadar dalam mengajar sehingga kita sulit menemukan lulusan sekolah yang bisa mengambil manfaat dari belajar tatap muka selama ini di sekolah
konvensional.
Memang ini tidak mudah untuk dirombak total, setidaknya dengan situasi pandemi memaksakan pelaku di dunia pendidikan untuk mengikuti perubahan yang penuh tangtangan, dan hanya guru-guru yang cukup literasi digitalnya yang akan terlihat sebagai guru yang profesional dalam komptensi
pedagogik dan sosial.
Apalagi era
rovolusi 4.0 ini menjadi rujukan penting bahwa peradaban manusia kian canggih dalam menjalani kehidupannya, semua bergeser ke dalam gengaman
handphone yang
smart.
Membayangkan situasi pandemi yang masih berlanjut ini, keprihatinan terhadap pendidikan anak-anak kita sebagai pelanjut generasi terasa oleh semua orang tua yang memiliki anak usia sekolah.
Belajar di rumah juga banyak dikeluhkan bahkan tak sedikit orang tua yang stres harus mengambil peran sebagai guru. Parahnya lagi, dibanyak sekolah masih membebani peserta didiknya dengan permintaan bayaran berupa iuran berdalih sumbangan tidak mengikat sebagai kesepakatan pengurus komite sekolah.
Keresahan orang tua memang patut dipikirkan secara
komprehensif oleh stakeholder di bidang pendidikan. Jika tidak, pasca pandemi selesai yang entah kapan, negara ini mau kemana, jangan-jangan negara tak lagi berpikir untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya yang hanya terdengar sebagai
slogan saja.
Semoga saja tidak, saya percaya negara ini tengah menyusun skema pendidikan peradaban yang cepat atau lambat akan menuju pada tercapainya manusia-manusia yang mampu menghadapi tangtangan global, siapkah kita? dan jawabannnya terpulang dari diri kita sendiri.
Penulis, adalah Direktur Kolaka Media Institute
Watuliandu, Sulawesi Tenggara, 08/07/2021